Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia pada Periode 1965-1998
Era baru dalam pemerintahan dimulai setelah melalui masa transisi yang singkat yaitu antara tahun 1966-1968, ketika Jenderal Soeharto dipilih menjadi Presiden Republik Indonesia. Era yang kemudian dikenal sebagai Orde Baru dengan konsep Demokrasi Pancasila.
Visi utama pemerintahan Orde Baru ini adalah untuk melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen dalam setiap aspek kehidupan masyarakat Indonesia.
Dengan visi tersebut, Orde Baru memberikan secercah harapan bagi rakyat Indonesia. Rakyat Indonesia mengharapkan adanya perubahan-perubahan politik menjadi lebih demokratis. Harapan tersebut tentu saja ada dasarnya. Orde Baru dipandang mampu mengeluarkan bangsa ini keluar dari keterpurukan.
Harapan rakyat tersebut tidak sepenuhnya terwujud. Karena, sebenarnya tidak ada perubahan yang substantif dari kehidupan politik Indonesia. Dalam perjalanan politik pemerintahan Orde Baru, kekuasaan presiden merupakan pusat dari seluruh proses politik di Indonesia. Lembaga kepresidenan merupakan pengontrol utama lembaga negara lainnya, baik yang bersifat suprastruktur (DPR, MPR, DPA, BPK, dan MA) maupun yang bersifat infrastruktur (LSM, partai politik,dan sebagainya).
Selain itu juga, Presiden Soeharto mempunyai sejumlah legalitas yang tidak dimiliki oleh siapa pun seperti Pengemban Supersemar, Mandataris MPR, Bapak Pembangunan, dan Panglima Tertinggi ABRI.
Dari uraian di atas, kita dapat menggambarkan bahwa pelaksanaan Demokrasi Pancasila masih jauh dari harapan. Pelaksanaan nilai-nilai Pancasila secara murni dan konsekuen hanya dijadikan alat politik penguasa belaka. Kenyataan yang terjadi Demokrasi Pancasila sama dengan kediktatoran.
Untuk lebih jelasnya, berikut ini dipaparkan karakteristik Demokrasi Pancasila masa Orde Baru yang berdasarkan pada indikator demokrasi yang telah dikemukakan sebelumnya.
Pertama, rotasi kekuasaan eksekutif boleh dikatakan sangat kecil terjadi. Kecuali pada jajaran yang lebih rendah, seperti gubernur, bupati/walikota, camat, dan kepala desa. Kalaupun ada perubahan, selama pemerintahan Orde Baru hanya terjadi pada jabatan wakil presiden, sementara pemerintahan secara esensial masih tetap sama.
Keduam rekrutmen politik bersifat tertutup. Rekrutmen politik merupakan proses pengisian jabatan politik di dalam penyelenggaraan pemerintah negara, baik untuk lembaga eksekutif (pemerintah pusat maupun daerah), legislatif (MPR, DPR, dan DPRD) maupun lembaga yudikatif (Mahkamah Agung).
Dalam negara yang menganut sistem pemerintahan yang demokratis, semua warga negara yang mampu dan memenuhi syarat mempunyai peluang yang sama untuk mengisi jabatan politik tersebut. Akan tetapi, yang terjadi di Indonesia pada masa Orde Baru, sistem rekrutmen politik tersebut bersifat tertutup, kecuali anggota DPR yang berjumlah 400 orang dipilih melalui pemilihan umum.
Pengisian jabatan tinggi negara seperti Mahkamah Agung, Dewan Pertimbangan Agung, dan jabatan-jabatan lainnya dalam birokrasi dikontrol sepenuhnya oleh lembaga kepresidenan. Demikian juga dengan anggota badan legislatif. Anggota DPR sejumlah 100 orang dipilih melalui proses pengangkatan dengan surat keputusan presiden.
Sementara itu dalam kaitannya dengan rekrutmen politik lokal (seperti gubernur dan bupati/ walikota), masyarakat di daerah tidak mempunyai peluang untuk ikut menentukan pemimpin mereka. Kata akhir tentang siapa yang akan menjabat diputuskan oleh presiden. Jelas, sistem rekrutmen seperti itu sangat bertentangan dengan semangat demokrasi.
Ketiga, Pemilihan Umum. Pada masa pemerintahan Orde Baru, pemilihan umum telah dilangsungkan sebanyak enam kali dengan frekuensi yang teratur setiap lima tahun sekali. Tetapi, kalau kita amati kualitas pelaksanaan pemilihan umum tersebut masih jauh dari semangat demokrasi. Pemilihan umum tidak melahirkan persaingan yang sehat.
Keempat, pelaksanaan hak dasar warga negara. Sudah bukan menjadi rahasia umum lagi, bahwa dunia internasional sering menyoroti politik Indonesia berkaitan erat dengan perwujudan jaminan hak asasi manusia.
Masalah kebebasan pers sering muncul ke permukaan. Persoalan mendasar adalah selalu adanya campur tangan birokrasi yang sangat kuat. Selama pemerintahan Orde Baru, sejarah pengekangan kebebasan pers terulang kembali seperti yang terjadi pada masa Orde Lama.
Beberapa media massa seperti Tempo, Detik, dan Editor dicabut surat izin penerbitannya atau dengan kata lain dibreidel setelah mereka mengeluarkan laporan investigasi tentang berbagai masalah penyelewengan yang dilakukan oleh pejabat-pejabat negara.
Selain itu, kebebasan berpendapat menjadi barang langka dan mewah. Pemerintah melalui kepanjangan tangannya (aparat keamanan) memberikan ruang yang terbatas kepada masyarakat untuk berpendapat.
Pemberlakuan Undang-Undang Subversif membuat posisi pemerintah semakin kuat karena tidak ada kontrol dari rakyat. Rakyat menjadi takut untuk berpendapat mengenai kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Tidak jarang pemerintah memenjarakan dan mencekal orang-orang yang mengkritisi kebijakannya.
Keempat indikator di atas menjadi catatan hitam perjalanan demokrasi di Indonesia. Akankah masa-masa pahit ini kembali terulang? Jawabannya dikembalikan kepada semua elemen bangsa ini.
Posting Komentar untuk "Pelaksanaan Demokrasi di Indonesia pada Periode 1965-1998"
Terima kasih atas kunjungannya di blog pulpen guru. Untuk berkomentar, silahkan gunakan kata-kata yang baik dan sopan ya.